Terima Kasih Untuk Kesia-siaan

 

Pict by Pinterest

DISC: BACA CERITA INI DENGAN MENDENGARKAN BACKSOUND INI!

     Hari ini gue lagi ngga butuh banyak orang untuk nenangin gue dan dengerin gue. Gue cuma butuh Rizky. Tapi gue sadar beberapa hari ini memang pertengkaran dahsyat menghantam hubungan kita berdua ditambah, gue dan Rizky sama-sama punya prioritas kerjaan. Jadi, gue cuma bisa nangis sendirian. Dan di saat gue nangis, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu masuk kamar apartemen gue.

     Kali ini gue ngga bisa ngomong apa-apa. Gue cuma bisa berdiam diri lemah, dengan tatapan yang penuh harapan di hadapan orang yang gue sayang. Pun dia juga tanpa sepatah kata pun. Rizky pun masuk ke apart gue.

"Cuma mau bilang..." ungkap Rizky memulai pembicaraan tanpa salam atau basa-basi. "Hubungan ini sudah ngga baik lagi untuk dilanjutin". Jelasnya.

"Hah? maksudnya? aku ngga ngerti maksud kamu, ya. Kamu datang tiba-tiba ngga ada ngasih kabar ke aku, terus ngga ada nanya kabar aku seakan-akan semua baik-baik aja, seakan-akan semua yang ngga baik-baik aja cuma datang ke kamu?" Ujar gue kesal.

"Apasih? aku datang juga karena aku mikirin ini dari hari-hari lalu, aku kepikiran sampe ngeganggu aktivitas aku".  Balas Rizky.

"Ky, yauda ayok kita bicarain baik-baik. Kamu kan udah dateng di sini, yauda ayok kita bicarain dengan kepala dingin demi kepentingan kita sama-sama". 

"Ngga bisa, Ci. Aku udah mikirin ini baik-baik dan ini keputusan aku".

"Kamu mikirin baik-baik itu mikirin diri kamu doang, 'kan? itu demi kebaikan kamu doang, 'kan? terus aku gimana, Ky? aku gimana? aku cuma minta kita bicarain ini dulu berdua gimana adilnya buat kita berdua... please..."

"Udah, ya... aku mohon dan aku minta maaf tapi ini emang demi kebaikan aku. Jadi, aku mohon untuk berhenti ngabarin aku lagi dan sampai di sini, hubungan kita udah berakhir, oke? maaf, ya".


     Gue menatap matanya lekat-lekat. Gue baru melihat tatapan yang siap untuk melepas gue itu. Gue cuma bisa mengulum bibir sedikit menahan tangis dan ketidakrelaan gue yang amat besar untuk melepasnya. 

     Malam itu sesaput awan tebal menghadang banal lampu-lampu kota, deru angin yang sejuk, cukup sejuk untuk menarik sebuah pelukan--namun sayangnya tidak berlaku untuk keadaan gue sekarang.

     Gue lemah tak berdaya hingga gue harus menjatuhkan tubuh gue dengan kedua lutut terlipat di lantai yang menahan seluruh beban ketidakkuasaan hingga beban air mata yang masih pelan-pelan jatuh; menahan banyak jerit yang tersimpan di dada. Namun melihat gue lemah tak berdaya ternyata membuat luruh hati Rizky untuk meluangkan perhatiannya. Ia menyempatkan membuat segelas teh hangat untuk gue. Gue pikir, ia juga akan meluangkan untuk membahas hubungan ini berdua namun ternyata gue salah. Dia tetap masih dengan keputusan miliknya sendiri. Segelas teh hangat Rizky persembahkan untuk gue. Dia menggapai kedua tangan gue untuk menangkupkan mug yang berilustrasi vector wajah riang kita berdua. Lalu... dia pergi. Dia pergi dan tidak akan kembali.

     Persembahan terakhir darinya bukanlah teh hangat dengan mug yang memberi kesan kenangan ini, namun suara langkah kaki dan pintu yang menutup kamar apartemen gue sekaligus penutup kisah gue dan dialah, persembahan sekaligus perayaan paling tidak mengesankan dan tidak harmonis yang gue dapat.

     Entah sudah hitungan ke berapa kakinya melangkah pergi, yang jelas, tak lama dari kepergiannya, setelah gue meratap kepedihan, akhirnya gue meledak. Gue menangis sehebat-hebatnya. Saat itu gue hanya mau menangis, gue cuma bisa menangis walaupun gue sadar ngga bakal ada yang menyeka air mata gue sampai air mata ini akan menenggelamkan tubuh gue di kamar ini. Sambil memegang erat mug yang bahkan gue sendiri ngga berani untuk melihat mug itu. 

     Apa yang tenggelam dan tertahan di dada gue tadinya akhirnya mendidih dan tumpah saat itu juga. Lambat laun, kepala gue terbenam sejajar dengan mug itu. Tergurat luka yang amat basah di lubuk hati gue hingga bernapas pun megap-megap.

     Tangis yang tak kunjung tenang seperti deras aliran sungai menuju air terjun yang tumpah entah ke mana. Hujan pun turun di luar sana. Gemuruh hingga kilat-kilat yang menerangi gelap dan kelamnya malam itu, membuat gue semakin takut. Hanya kesedihan, kepedihan, kesepian, ketakutan, gue takut dan takut benar-benar merasa takut kehilangan orang yang gue sayang. Gue ngerasa gue cuma punya dia, gue cuma ada dia di saat gue dalam keadaan apapun dan sekarang orang itu udah hilang, pergi dan ngga bakalan mau lagi kembali.

     Terima kasih, untuk semuanya, Ky. Terima kasih untuk kesia-siaan dan perayaan malam itu. Terima kasih untuk kepergian hingga kesepian. Aku sayang banget sama kamu, Ky. Lirih gue dalam pedih dan sedih yang pekat, yang mungkin akan menghantui gue selama beberapa tahun ke depan. 


BACA JUGA: SEBULIR CINTA UNTUK ANASTASYA


Comments

Perlu Dibaca